Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah jejak demokrasi Indonesia. Peristiwa politik ini juga menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan ketegangan politik pada tahun 1960-an, yang akhirnya berakhir dengan kejatuhan Soekarno.
aksiografi.com – Perjalanan sejarah selalu membawa kita pada momen penting yang membentuk jalan bangsa. Salah satu momen yang menandai perjalanan panjang demokrasi Indonesia adalah Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dalam artikel ini, kita akan memperjalankan diri kita ke masa lalu dan memahami konteks politik saat itu, serta menggali implikasi dekret tersebut terhadap demokrasi yang kita kenal saat ini.
Periode Politik yang Menentukan
Periode tahun 1959-1965 merupakan periode yang penuh dengan ketegangan politik di Indonesia, dengan dominasi Presiden Soekarno. Era ini ditandai oleh konflik yang intens antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada dekade sebelumnya, di tahun 1950-an, negara ini dilanda kisruh politik yang meliputi pemberontakan DI/TII, PRRI-Permesta, dan pergolakan di parlemen. Konteks politik ini memberikan latar belakang bagi munculnya dekrit yang kontroversial ini.
Perubahan dalam Undang-Undang Dasar
Setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang-Undang Dasar RIS tidak berlaku lagi, dan Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) hingga terbentuknya Badan Konstituante hasil Pemilu 1955. Namun, Badan Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya dalam merancang undang-undang dasar baru. Perdebatan yang panjang dan sulit di sidang Majelis Konstituante menghambat kemajuan, yang kemudian mendorong terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Teka-teki Perdebatan dan Kehadiran Dekrit
Sidang Majelis Konstituante pada periode tersebut disibukkan dengan perdebatan ideologi yang kompleks. Setiap kelompok mengajukan gagasannya untuk mengusulkan ideologi yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Kelompok Islam menekankan Islam sebagai dasar negara, sementara kelompok lain diminta untuk menyampaikan konsep kenegaraan mereka dengan jelas. Namun, perdebatan ini berlangsung selama dua tahun tanpa memberikan kepastian. Dalam situasi tersebut, desakan dari luar agar kembali menggunakan UUD 1945 semakin kuat, dan Presiden Soekarno akhirnya menyambutnya.
Menggali Isi dan Implikasi Dekrit
Pada 22 April 1959, Soekarno menganjurkan agar Indonesia kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang Konstituante. Namun, anjuran ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari anggota Konstituante. Meskipun ada hasil pemungutan suara yang menunjukkan mayoritas menyetujui penggunaan UUD 1945, sidang tersebut dianggap tidak kuorum. Dalam upaya mengatasi kebuntuan ini, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Soekarno, yang menginstruksikan untuk kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945.
Dampak pada Demokrasi dan Pelbagai Interpretasi
Realitas politik saat itu membawa Soekarno untuk memperkenalkan konsep “demokrasi terpimpin” yang banyak menginterpretasikan sebagai awal kediktatoran. Awalnya sebagai reaksi terhadap kepalsuan dan perpecahan dalam pemerintahan parlementer sebelumnya, serta kegagalan partai-partai untuk menyetujui kabinet atau undang-undang dasar baru, Demokrasi Terpimpin menjadi sistem yang dirancang untuk mengurangi akses partai politik terhadap kekuasaan negara. Namun, hal ini juga menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan ketegangan politik pada tahun 1960-an, yang akhirnya berakhir dengan kejatuhan Soekarno.
Kesimpulan
Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 adalah titik penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Konteks politik saat itu, perubahan dalam Undang-Undang Dasar, dan kehadiran dekrit tersebut membentuk landasan yang kompleks bagi perkembangan demokrasi kita saat ini. Penting bagi kita untuk memahami dan menghargai perjalanan sejarah ini, serta melihat implikasinya terhadap demokrasi yang kita perjuangkan. Dalam menjaga demokrasi yang kuat dan inklusif, marilah kita belajar dari masa lalu dan terus bergerak maju dengan semangat kebebasan dan persatuan.