Pelajari sejarah terbentuknya Bank Indonesia, dari Yayasan Bank Indonesia pada 1945 hingga transformasinya menjadi bank sentral yang independen. Temukan peristiwa penting seperti Konferensi Meja Bundar, nasionalisasi De Javasche Bank, dan reformasi perbankan di Indonesia.
aksiografi.com – Sejarah terbentuknya Bank Indonesia (BI) sangat erat kaitannya dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman kolonial Belanda. Upaya ini diwujudkan dengan pendirian Yayasan Bank Indonesia pada 5 Juli 1945 oleh pemerintahan baru Indonesia, yang kemudian menerbitkan undang-undang darurat tentang pendirian Bank Nasional Indonesia (BNI). Setahun kemudian, pada 5 Juli 1946, BNI dilebur ke dalam Yayasan Bank Indonesia. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Peringatan Bank Indonesia.
Namun, transformasi Bank Indonesia menjadi bank sirkulasi atau bank sentral terganjal oleh situasi dalam negeri. Pada 18 Desember 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II yang menghalangi pengakuan internasional terhadap BI. Pemerintah Indonesia pun harus mengeluarkan deklarasi darurat perang.
Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherdlands Indies Civil Administration (NICA). Pada masa itu, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Tujuannya jelas, ingin mengacaikan ekonomi Indonesia. Dalam mengantisipasi hal itu, Pemerintah Indonesia membentukan bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).
BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualism bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa itu, uang DJB yang dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang putih”.
Agresi Militer Belanda II mendorong terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Konflik ini akhirnya dibawa ke meja perundingan internasional. Atas desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional, Belanda akhirnya menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949. Salah satu buti KMB adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS.
Selain itu, KMB juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat dalam proses transformasi De Javasche Bank menjadi bank sentral Republik Indonesia. Setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulari dengan kepemilikan saham oleh Belanda.
Pada masa demokrasi terpimpin, pada 1951, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa itu, Gubernur BI ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi. Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin “Bank Berjoang”.
Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank. Selanjutnya, pada 10 April 1953, parlemen menyetujui usulan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia melalui penetapan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1953. Peresmian ini diikuti dengan penetapan Bank Indonesia sebagai bank sirkulasi atau bank sentral Indonesia pada tanggal yang sama oleh Presiden Soekarno. UU Nomor 11 tahun 1953 menjadi landasan perbankan nasional yang kuat.
Pengesahan dan pengumuman Undang-Undang Nomor 11 tahun 1953 terjadi pada 2 Juni 1953, dan undang-undang ini mulai berlaku pada 5 Juli 1953, yang sekaligus diresmikan sebagai Hari Peringatan Berdirinya Bank Indonesia. Pasca nasionalisasi, pemerintah juga mendirikan Bank Industri Negara (BIN) yang bertugas membiayai pembangunan industri, sedangkan BNI fokus pada pembiayaan impor dan ekspor.
Berbagai perbankan Belanda lainnya mengalami nasionalisasi pada 1958, dengan Escompto bertransformasi menjadi Bank Dagang Negara yang khusus menangani pembiayaan sektor pertambangan. Pada 1965, berbagai bank negara digabungkan ke dalam BNI, namun kemudian dipisahkan kembali pada Desember 1968.
Pada tahun ini, 1968, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Indoensia. UU ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I. Salah satu pasal di dalam UU ini juga mengatuh bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen Pembangunan dan pemegang kas negara. Sementara itu, melalui UU No. 21 dan 22 tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang beridir sendiri.
Pada tahun 1988, BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan nama Paket Kebijakan 29 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto 27. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industry perbankan dengan mempermudah perizinan dalam pendirian bank baru.
Di tahun-tahun selanjutnya, terjadi sejumlah perubahan signifikan dalam sistem perbankan Indonesia. Pada 1971, pemerintah meluncurkan Skema Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas). Deregulasi besar dalam bidang perbankan diumumkan pada 27 Oktober 1989, yang memudahkan lisensi penukaran valuta asing dan mengizinkan perusahaan negara untuk menyimpan dana di bank-bank swasta. Akibat peningkatan jumlah bank dari 112 pada tahun 1988 menjadi 239 pada 1996, timbul banyak permasalahan finansial akibat salah kelola dan skandal keuangan, termasuk di antaranya Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO).
Pada Desember 1997, Bank Indonesia menghadapi tuduhan korupsi dan memecat empat dari tujuh direkturnya. Proses peradilan yang panjang akhirnya memenjarakan tiga direktur tersebut pada 2004 karena penyalahgunaan kekuasaan dalam penyaluran dana bantuan likuiditas hingga US$1 miliar. Krisi moneter Asia mendorong BI mengambil langkah-langkah kebijakan penanggulangan Krisi, seperti penerapan kebijakan floating exchange rate untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.
Dengan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF), Menteri Keuangan menutup 16 bank swasta yang tidak likuid di tahun yang sama. Skandal perbankan ini mengakibatkan publik kehilangan kepercayaan terhadap sistem perbankan domestik, yang berdampak pada penarikan besar-besaran dana ke bank-bank asing.
Pada 1999, Undang-Undang No. 23 tentang Bank Sentral diresmikan, menetapkan BI sebagai lembaga negara yang independen dengan tugas menjaga kestabilan nilai rupiah dan mendukung kesejahteraan rakyat. Klausul yang menyebutkan BI sebagai agen Pembangunan dihapus. Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Dalam framwork ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Amendemen terhadap undang-undang ini dilakukan pada 2004 dan 2008, menegaskan peran BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
DOR mengesahkan Undang-Undang Nomor tahun 2004 tentang Perubahan atas UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indoneisa. UU ini berisi penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi pengawasan BI.
Upaya memperkokoh status BI sebagai bank sentral independen terus dilakukan hingga keluarnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 yang menegaskan bahwa BI harus menolak segala bentuk campur tangan pihak mana pun. Undang-undang Nomor 6 tahun 2009 memperjelas dan mempertegas peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Pada tahun 2011, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (IJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK. Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lemabga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makropridesnsial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.
Sejarah panjang berdirinya Bank Indonesia menunjukkan perjalanan yang penuh tantangan dalam meraih kedaulatan ekonomi dan memantapkan posisi sebagai bank sentral yang berperan vital dalam stabilitas keuangan negara.