Perjanjian Belavezha, pada 8 Desember 1991, mengakhiri Uni Soviet, tetapi membuka babak baru konflik geopolitik. Dari trauma sejarah hingga invasi 2022, hubungan Rusia dan Ukraina tetap membara di tengah bayang-bayang imperium yang runtuh.
aksigorafi.com – Ada satu ironi dalam sejarah: momen runtuhnya sebuah imperium sering kali menyisakan jejak yang panjang dan tak terputus. Pada 8 Desember 1991, ketika para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarus berkumpul di tengah hutan Belavezha, mereka bukan hanya menandatangani dokumen yang membubarkan Uni Soviet, mereka juga menciptakan paradigma baru yang akan terus membayangi hubungan geopolitik modern. Perjanjian itu meresmikan akhir era Soviet dan kelahiran 15 negara baru, termasuk Ukraina dan Belarus. Namun, apa yang tampak seperti akhir dari sebuah narasi lama sebenarnya adalah pembukaan babak yang lebih kompleks. Dekade kemudian, hubungan antara Rusia dan Ukraina tidak hanya menjadi medan konflik politik tetapi juga pembuktian bagaimana dendam sejarah tetap membara.
Ketika Boris Yeltsin menatap mata Leonid Kravchuk sambil menandatangani perjanjian itu, benarkah ia membayangkan bahwa dua dekade kemudian, Rusia, sebagai pewaris tunggal kebesaran Soviet, akan kembali menantang kedaulatan Ukraina secara militer? Ataukah, seperti dalam banyak kisah sejarah besar lainnya, setiap imperium yang runtuh memiliki semacam lintasan panjang ketidakpuasan? Seperti seorang raksasa yang terlelap tetapi tak sepenuhnya mati, Rusia bangkit lagi di bawah Vladimir Putin, membawa serta ambisinya untuk merajut kembali fragmen sejarah yang pernah hilang.
Fragmen Sejarah yang Tercabik
Bagi Vladimir Putin, pembubaran Uni Soviet bukanlah sekadar akhir dari sebuah era, tetapi merupakan apa yang ia sebut sebagai “bencana geopolitik terbesar abad ke-20.” Uni Soviet runtuh, tetapi trauma psikologisnya tetap hidup di dalam benak kepemimpinan Rusia. Ukraina, dengan semua historisitasnya yang rumit, berada di garis depan trauma ini.
Ukraina adalah lebih dari sekadar tanah; ia adalah simbol. Di Kiev-lah peradaban Rusia dan Ortodoks Timur lahir pada abad ke-10, jauh sebelum Moskwa berdiri megah sebagai pusat kekuasaan tsar. Meskipun selama berabad-abad berada di bawah dominasi asing, dari Polandia hingga Kekaisaran Rusia, Ukraina berulang kali menyatakan identitasnya yang berbeda. Namun, bagi Rusia modern, Ukraina bukan sekadar negara tetangga; ia adalah cerminan dari versi alternatif sejarah strategi imperium Rusia—cabang yang, jika runtuh atau berubah arah, seolah mengancam pohon besar sejarah yang menopangnya.
Kini, dengan invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, apa yang kita saksikan bukan hanya sebuah konflik militer. Ini adalah cerita dalam lensa sejarah panjang dan dendam budaya. Putin tidak menyerang Ukraina hanya karena motif geopolitik atau kebutuhan keamanan. Ia menyerang karena, baginya, Ukraina merdeka adalah simbol kegagalan Rusia untuk mempertahankan kendali atas cerita lama yang diwariskan oleh para pendahulu Soviet-nya.
Perjanjian Belavezha dan Bara yang Tak Pernah Padam
Jika Perjanjian Belavezha pada 1991 mengakhiri satu babak, maka invasi 2022 adalah pembukaan babak baru. Apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 8 Desember 1991? Barangkali, itu bukanlah peristiwa pembubaran semata. Itu adalah awal dari ketidakselarasan akut Rusia terhadap modernitas barat dan keengganannya untuk melihat negara-negara bekas Soviet bergerak ke orbit yang berbeda.
Ketika Ukraina merdeka pada Desember 1991, ia melepaskan diri dari pelukan erat Uni Soviet. Tetapi sejarah tak memberikan kemerdekaan dengan mudah. Ukraina harus mewarisi hubungan yang sangat rumit dengan Putin, sosok yang memandang negara independen tersebut bukan sebagai tetangga merdeka, melainkan sebagai bagian yang hilang dari “Dunia Rusia.” Emosi seperti itu adalah residu dari trauma historis yang berawal di Belavezha. Apa yang tidak terselesaikan pada meja perundingan di tengah hutan Belarus itu adalah bagaimana mantan republik Soviet akan menjaga kedaulatan tanpa mengancam satu sama lain.
Paradoks dari Sebuah Reruntuhan
Selama bertahun-tahun setelah runtuhnya Uni Soviet, Rusia berusaha mendefinisikan kembali dirinya. Namun, trauma sejarah tidak pernah hilang begitu saja. Sebuah negara yang besar, terutama yang telah kehilangan kekuasaannya, sering mencari jalan kembali ke kebesaran. Dalam kasus Rusia, jalan ini adalah jalan balas dendam. Keberlanjutan konflik dengan Ukraina hadir sebagai realisasi dari narasi yang terus-menerus bergulir dalam politik Rusia: bahwa untuk menjadi besar kembali, ia harus menyatukan kembali apa yang dipisahkan oleh Perjanjian Belavezha.
Melalui invasi Ukraina pada tahun 2022, Vladimir Putin tampaknya berusaha tidak hanya mengoreksi sejarah tetapi memperbaiki “kesalahan” geopolitik yang terasa sejak 1991. Namun, seperti seorang pemain catur yang terlalu jauh membaca langkah lawannya, Rusia mengabaikan satu fakta mendasar: Ukraina bukan sekadar papan catur geopolitik. Ukraina adalah negara yang telah menemukan identitasnya. Setiap bom yang dijatuhkan oleh Rusia, setiap kota yang dihancurkan, hanya memperkuat tekad Ukraina untuk menegaskan diri sebagai bangsa merdeka.
Antara Masa Lalu dan Masa Depan
Ketika para pemimpin Rusia, Belarus, dan Ukraina bertemu di hutan Belavezha pada tahun 1991, mereka percaya bahwa bab baru telah dimulai. Tetapi sesungguhnya, mereka hanya menunda konflik yang bersembunyi di bawah permukaan. Di sinilah introspeksi terbesar kita diperlukan: dapatkah hubungan antara negara-negara yang lahir dari reruntuhan sebuah imperium benar-benar mengatasi dendam masa lalu? Ataukah sejarah akan terus menjadi kekuatan yang tak terhindarkan, menyeret kita kembali ke lingkaran kekerasan yang sama?
Bagi Ukraina dan Rusia, kisah itu terus berlanjut. Tetapi mungkin, seperti yang biasanya terjadi dalam sejarah, jawabannya tidak ditemukan di medan perang atau meja perundingan. Jawabannya, jika ada, akan muncul ketika kedua bangsa ini mampu memutus lingkar dendam, suatu hal yang bahkan Perjanjian Belavezha gagal lakukan. Hingga saat itu tiba, kita adalah saksi dari drama sejarah terbesar abad ini—di mana fakta masa lalu bertemu dengan obsesi, membawa konsekuensi yang terus menggema hari ini.